Bertumbuh, Lantas Berlabuh

Perihal sepuluh tahun yang terlampau keras menempanya.

 


Kita hanyalah anak kecil,

yang sesaat lalu penuh bahagia lantas tersungkur dan meneteskan air mata.

Kita hanyalah anak kecil,

yang membuka mata dengan penuh penasaran kemudian terpejam dengan senyuman.

Kita hanyalah anak kecil,

yang seringkali berlari tanpa arah namun tetap percaya semuanya akan baik-baik saja.


Atap seng yang menerima panas dari mentari itu tampak sangat rapuh. Tubuhnya kala itu tidak lebih tinggi dari pinggang sang Ibu. Dengan pakaian kuning cerah dan topi bergambar kartun spons, ia masih bersembunyi di balik kedua kaki itu. Seram, dunia luar menakutkan. Pikirnya seraya memenuhi hati dengan rasa ingin kembali. 

Namun, tepukan lembut pada pundak dan senyum meyakinkan membuatnya melangkah. Ruangan penuh warna dan kertas origami yang menghiasi setiap dinding itu sama sekali tidak menarik baginya. Yang menarik dari ruangan luas berisi teriakan anak-anak itu hanya gambar buah dengan resolusi rendah yang membuatnya lapar. Dan gambar itu pula yang melekat dalam ingatan hingga ia beranjak untuk melanjutkan kehidupannya.

 

Kita masih seperti anak kecil,

            yang dengan mudahnya berharap jika esok akan menjadi lebih baik.

Kita masih seperti anak kecil,

            yang begitu berani menangis tanpa perlu bersembunyi.

Kita masih seperti anak kecil,

            yang rupanya sudah terlampau dewasa tanpa kita sadari.


Sekolah Dasar adalah tempat di mana anak-anak mencoba berbagai hal. Namun baginya, berbagai hal yang mungkin tampak menyenangkan itu tidak akan menimbulkan hal apapun selain luka. Aneh. Apa aku bukan manusia? Pikirnya sembari memiringkan kepala. Reka adegan perihal tatapan dari seluruh teman-temannya semasa kecil itu melekat sempurna, tepat di samping gambar buah-buahan di taman kanak-kanak itu.

Tidak apa-apa, lagipula kita masih kecil. Mungkin, ketika kita lebih dewasa, kita akan lebih baik-baik saja dibanding saat ini. Ia percaya, pada esok yang bisa saja tidak ada. Ia percaya, pada satu kalimat perihal waktu yang akan menyembuhkan semua luka. Ia percaya, pada dirinya yang masih mampu menebar tawa meski seisi diri tak lagi seperti semula.

Ditatapnya tubuh yang kini menggunakan kaus bergambar kartun kucing dalam pantulan cermin. Seisi kepala seolah sunyi, berlawanan dengan kedua bibir yang hanya terkikik kecil. Kedua kakinya lantas menekuk untuk duduk di atas lantai hitam yang mengalasi benda itu. Ia mengetuk-ngetuk cermin itu menggunakan jari telunjuk, diiringi dengan tawa yang tidak lekas terhenti.

            “Di sini sudah rusak..” tunjuknya pada cermin yang memantulkan kedua kaki. Dari arah dapur, terdengar suara Ibu memanggil yang dihiraukannya begitu saja.

            Tawanya seketika senyap, berganti dengan wajah yang menekuk di antara bingung dan sedih. “Di sini juga.. Ah, tapi.. di sini rusaknya dua kali.” Jemarinya mengarah langsung pada bagian bawah perutnya. Ia yakin, kala itu perutnya hanya berisi permen dari warung dekat rumahnya.

            “Besok, rusak di bagian mana lagi, ya..?” lirihnya tanpa sadar. Seumpama cairan hitam yang memenuhi masa kecilnya, hari itu ia paham. Dia bukan lagi seorang anak seperti apa yang diharapkan dewasa di sekitarnya. 


Kita sudah dewasa,

            dengan bahu yang siap menempa hidup jauh lebih kuat dari sebelumnya.

Kita sudah dewasa,

            dengan tangis yang tidak melulu perihal air mata.

Kita sudah dewasa,

            dengan luka yang nyatanya tidak dapat sembuh begitu saja.

 

Harus kuat. Bisiknya sembari memejamkan mata, menghindari sengatan matahari pukul dua siang. Suara goresan pensil yang terdengar melalui jendela kelas mengingatkannya pada berbagai hal. Tentang ujian perguruan tinggi yang semakin dekat, tentang napas yang sedikit berat, dan tentang kamar tidur yang kini menjadi satu-satunya rumah baginya. Harus bisa. Harus tetap jalan. Tidak apa-apa. Tidak akan terjadi apa-apa. Kita hanya rusak sedikit hari ini, esok pasti akan sembuh kembali. Lanjutnya meski tahu jika esok itu tidak akan pernah tiba.

Satu hari lagi saja. Tukasnya setiap pagi sebelum mengenakan seragam, dan menghadapi hari yang dipenuhi tumpukan pertanyaan yang tiada habisnya. Sesak. Kacamata dengan minus yang sudah tepat itu sama sekali tidak membantu kedua matanya untuk memandang apa yang terjadi di hadapannya. Sesak sekali, aku ingin berhenti di sini.

 

Rupanya, dewasa itu demikian.

            Ditemani diri yang terpaksa mengasingi rapuh.

Rupanya, dewasa itu demikian.

            Ditemani diri yang terbiasa berjalan walau tanpa arah.

Rupanya, dewasa itu demikian.

            Ditemani pemahaman yang belum tentu dibersamai memaafkan.

 

Angin malam sesekali berlalu menggelitik wajah dan kedua matanya. Perih, padahal lensa kacamata minus miliknya itu cukup lebar sampai bisa menahan hujan—meski sedikit. Kedipan pertama, ia menatap pada rembulan yang tampak sedikit kabur. Kedipan kedua, pandangannya beralih pada lima bintang yang mengitari satelit semesta malam itu. Kedipan ketiga, dirinya runtuh bersama keping yang ia susun selama sepuluh tahun agar ia tetap hidup.

Tawa halus terurai kala air matanya terasa di kedua pipi. Ah, ini ya, yang bertahan di balik bola matanya semenjak bertahun-tahun yang lalu. Menetes juga, persis seperti hujan yang menemaninya berteduh ketika ia menatap cinta pertamanya sepulang sekolah. Rupanya, ia hidup demikian. Dengan menyadari jika seluruh kisah yang tersapu oleh mata itu tidak akan pernah muncul dalam hidupnya. Dan nyatanya, luka yang sudah tertoreh selama sepuluh tahun lamanya itu tidak pernah usang barang sedetik saja.

Sebelah tangan terpaksa membungkam isak yang nyaris terdengar. Beberapa umpatan muncul dari bibirnya, demi menyelingi tangis dengan senyum seperti biasa. Brengsek. Sungguh, rasanya kesal. Ia kecewa, pada diri yang akhirnya tidak bisa memilih apapun untuk dirinya sendiri. Ia kecewa, pada sepuluh tahun yang rupanya hanya memperdalam pedih. Ia kecewa, pada apapun yang memaksanya untuk terus menghembuskan napas hingga malam itu berakhir.

Jika ia butuh sepuluh tahun untuk hancur, maka bisa jadi ia butuh sepuluh tahun lagi untuk sembuh. Mungkin. Bisa jadi ia terlampau luluh lantak untuk sekadar menyusun kedua kakinya agar tetap berjalan. Bisa jadi ia hanya perlu melepas segala hal dan pergi menuju tempat yang seharusnya. Atau bisa jadi, ia hanya perlu hidup seperti ini saja.

 

 

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer