Mimpi! Aku Punya Mimpi!
Tiga bagian perihal mimpi.
Eh, memangnya, kita pernah bermimpi, ya?
Ibu, aku ingin menjadi dokter.
Dengan senyum lebar-yang mungkin tidak akan pernah tampak lagi, terucap kalimat demikian sembari memerat mainan plastik berisi peralatan dokter itu.
Mimpinya mengagumkan, menyilaukan, dan nyaris menyakitkan.
Tahun-tahun berikutnya, bersama dengan mimpi yang muncul dalam satu kali ucap,
Aku lupa cara untuk bermimpi.
Ibu, aku ingin berhenti.
Tampar pipi, gores sana sini, hari ini masih harus bernapas seperti kemarin.
Terpantul di depan cermin wajah datar dengan kantung mata yang kentara.
Jadi perempuan itu, harus kuat.
Jadi perempuan itu, tidak boleh banyak menangis.
Jadi perempuan itu, harus menurut sepenuhnya—karena ini yang terbaik, katanya.
Bu, kenapa aku tidak jadi anjing saja?
Ah, jadi perempuan, jadi manusia.
Berdiri di sini berarti harus siap disalahkan.
Dilarang berucap sekalipun kedua kaki perlahan hancur—isi otak rasanya hanya ingin melebur.
Diam-diam berharap jika seisi kepala itu mengunyah lemak, bukan kewarasan.
Barangkali, esok hari aku bisa 'cantik' seperti yang dunia ini pinta.
Dihina sekalipun pakaian tampak sempurna—di mata Tuhan. Di mata manusia, bisa saja menjijikan.
Dinodai pun harus terdiam, membeku bahkan. Katanya, aib paling kotor di dunia. Korban itu aib, pelaku itu hanya membuat kesalahan—tidak sengaja.
Bungkam saja aku sekalian, sampai tidak paham esensi dari berucap maupun menatap dunia.
Ah, dunia luar biasa gila.
Kalau esok hari aku bawa dua lembar uang berwarna merah hasil menjual tubuhku yang penuh noda,
pastinya bukan hal yang mengejutkan.
Habisnya, Bu, aku juga mau dihargai seperti yang seharusnya.
Komentar
Posting Komentar