cOlder

do we tend to get colder when we become older?

Bersama detak jam yang terdengar sepi, sejumlah pikiran datang tanpa berniat menepi. Denganku, yang mulai merobek batas-batas diriku. Dan denganmu, yang rupanya sudah terlalu jauh hingga tak dapat kusentuh.  

Kalau memang dewasa itu mengandung kisah hilangnya dirimu, lebih baik aku berhenti di sini. Setengah dari diriku mungkin berteriak mati-matian, di depan sana masih ada yang menungguku. Tapi, kau tahu? Ada kalanya manusia tidak mampu melangkah hanya dengan iming-iming tujuan yang bisa dikatakan fana. 

Sejak kapan? Dua untai kata itu rasanya sudah merangkum seluruhnya yang ingin kutanyakan. Sejak kapan kita menjadi seperti ini? Sejak kapan kau sudah sejauh itu? Atau justru aku yang entah sejak kapan merasa jika dirimu membutuhkan jarak, sampai akhirnya aku yang menjauh lebih dulu? Mana yang benar? Spekulasi sejenis rasanya mampu dengan senang hati membuatku menggila, sampai menduduki kursi terapi untuk kedua kalinya.

Dusta bila kugamblangkan aku mampu tersenyum dan membiarkanmu melangkah pergi dari dunia kecilku. Ratusan percakapan dalam sehari itu rupanya mampu kandas dalam satu menit. Aku, yang hingga tiga bulan setelah hari itu masih mengecap pahit sembari sesekali menangis, perlahan sadar jika untuk kedua kalinya kisah ini habis. Dan aku tidak perlu menunggu tahun selanjutnya datang untuk melihat siapa lagi yang beranjak dari hidupku. Karena kau ada, namun tidak lagi di sana.



Rupanya, Tuhan hanya menuliskan hingga aku sadar bahwa kau berharga. Tanpa perlu menungguku memperlakukanmu bagai permata. Luar biasa, Sang Maha Tahu itu memang benar-benar mengetahui semuanya. Termasuk cinta yang mungkin pernah hadir dalam sekubang dosa, lantas terukir dalam abadinya aksara.

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer